Example floating
Example floating
Berita

Tafsir Konstitusional terhadap Kewajiban Negara dalam Menjamin Keselamatan Transportasi

13
×

Tafsir Konstitusional terhadap Kewajiban Negara dalam Menjamin Keselamatan Transportasi

Sebarkan artikel ini


JAKARTA]] Cendrawasih7.Com-Keselamatan lalu lintas, khususnya pada moda angkutan jalan, merupakan isu strategis yang erat kaitannya dengan hak konstitusional atas hidup dan perlindungan dari ancaman sistemik. Dalam praktiknya, kecelakaan lalu lintas kerap dikonstruksi sebagai kesalahan personal pengemudi, mengabaikan struktur kelalaian yang dibangun oleh perusahaan angkutan dan pembiaran oleh regulator. Artikel ini menyoroti pentingnya pendekatan konstitusional dalam menafsirkan hukum lalu lintas dan angkutan jalan, mendesak penerapan prinsip corporate criminal liability, serta menuntut reformasi menyeluruh terhadap sistem perizinan dan pengawasan. Melalui pendekatan lex superior derogat legi inferiori, artikel ini mendorong pembacaan hukum lalu lintas yang menjunjung tinggi hak hidup, serta membuka jalan bagi upaya hukum terhadap perusahaan dan negara sebagai entitas yang turut bertanggung jawab atas kematian di jalan raya 5/8/2025

1. Pendahuluan

Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan angkutan umum bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Ia merupakan akumulasi dari kelalaian sistemik antara lain pengemudi yang tidak kompeten, kendaraan yang tidak laik jalan, sistem perawatan yang abai, serta perusahaan angkutan yang lalai menjalankan kewajiban manajerialnya. Ironisnya, dalam praktik penegakan hukum, tanggung jawab pidana dan perdata nyaris selalu diarahkan pada pengemudi semata. Sementara perusahaan angkutan, sebagai aktor dominan dalam ekosistem transportasi tetap berada di balik bayang bayang kekebalan hukum.

2. Hak atas Keselamatan sebagai Hak Konstitusional

a. Hak Hidup dalam UUD 1945

Pasal 28A UUD 1945 menjamin bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, sedangkan Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kedua norma ini membentuk fondasi konstitusional yang tak terbantahkan bahwa keselamatan dalam berlalu lintas termasuk dari bahaya kendaraan tidak laik, muatan berlebih, serta pengemudi tak terlatih merupakan bagian integral dari hak hidup warga negara.

b. Prinsip Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Dalam konflik antara norma hukum, lex superior derogat legi inferiori memberikan panduan bahwa peraturan perundang undangan yang lebih tinggi harus mengesampingkan yang lebih rendah. Oleh karena itu, tafsir atas UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) harus tunduk pada nilai nilai konstitusional, terutama dalam menjamin keselamatan publik.

3. Kelalaian Sistemik Perusahaan Angkutan

Perusahaan angkutan seringkali menjalankan usahanya tanpa sistem manajemen keselamatan yang terukur dan terawasi. Beberapa bentuk kelalaian sistemik antara lain

* Rekrutmen pengemudi tanpa sertifikasi atau kompetensi mengemudi kendaraan umum

* Pengoperasian kendaraan dalam kondisi tidak laik jalan atau dengan Surat Keterangan Laik Jalan palsu

* Pelanggaran dimensi dan muatan kendaraan (ODOL);

* Tidak melakukan pemeriksaan pra keberangkatan sebagaimana diatur dalam Permenhub No. 85 Tahun 2018 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum (SMKPAU).

Walaupun Permenhub tersebut mewajibkan setiap operator mencatat dan melaporkan kesiapan teknis kendaraan dan kompetensi pengemudi sebelum keberangkatan, realisasinya masih lemah. Regulator tidak melakukan verifikasi lapangan secara berkala, dan pelaporan cenderung bersifat formalistik.

4. Lemahnya Akuntabilitas dalam UU LLAJ

a. Fokus pada Pengemudi, Bukan Korporasi

UU LLAJ, khususnya Pasal 310, menempatkan tanggung jawab pidana pada pengemudi jika terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa. Namun, undang undang ini tidak memiliki mekanisme yang tegas untuk menjerat perusahaan angkutan sebagai subjek hukum pidana, meskipun kelalaian berasal dari kegagalan sistemik perusahaan.

b. Tidak Adanya Ancaman Pidana terhadap Direksi

Meskipun perusahaan memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 138 dan 139 UU LLAJ untuk memastikan kendaraan laik jalan dan pengemudi kompeten, tidak terdapat ancaman pidana kepada perusahaan angkutan, jika kewajiban ini dilanggar dan menimbulkan kematian. Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang menguntungkan korporasi dan membebani individu pengemudi sebagai kambing hitam.

5. Pendekatan Hukum yang Seharusnya

a. Tafsir Konstitusional dan Asas Perlindungan Hak Hidup

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan telah menegaskan bahwa semua peraturan perundang undangan harus ditafsirkan sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap kecelakaan lalu lintas harus diarahkan pada siapa pun yang memiliki kontribusi kelalaian, termasuk badan usaha.

b. Penerapan Corporate Criminal Liability

Dengan diberlakukannya KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), Pasal 20 mempertegas bahwa korporasi dapat dikenai pertanggung jawaban pidana. Hal ini membuka jalan bagi aparat penegak hukum untuk

* Menjerat direksi atau manajemen perusahaan angkutan yang menyetujui pengoperasian kendaraan tidak laik;

* Menyasar entitas perusahaan jika sistem pengawasan dan keselamatan tidak dijalankan secara patut;

* Menerapkan prinsip vicarious liability, di mana tanggung jawab perusahaan melekat pada tindakan bawahannya.

c. Pemanfaatan Pasal 359 KUHP dan UU Tipikor

Pasal 359 KUHP dapat digunakan untuk menjerat pejabat perusahaan yang karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain.

Jika ditemukan suap dalam proses pengujian kendaraan, SKRB, SRUT atau perizinan, maka aparat penegak hukum dapat menggunakan ketentuan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Reformasi Regulasi dan Pengawasan

Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 2009 untuk

* Menambahkan norma pidana terhadap perusahaan angkutan sebagai subjek hukum;

* Memperjelas tanggung jawab pimpinan perusahaan dalam setiap kecelakaan

* Mewajibkan pengawasan pra keberangkatan secara digital dan terintegrasi (misalnya melalui sistem ModaNudata untuk laut ( Moda Nusantara digitalisasi data ) , dan skema sejenis di darat)

* Menyusun aturan turunan berbasis prinsip “duty of care” yang mewajibkan penelusuran akar penyebab kecelakaan secara menyeluruh ke manajemen perusahaan.

7. Uji Kendaraan Benteng Terakhir, Bukan Kambing Hitam

Pengujian kendaraan bermotor baik secara berkala maupun saat terjadi penggantian komponen memang menjadi filter terakhir untuk menjamin kelayakan teknis. Namun menyalahkan proses pengujian sebagai sumber tunggal kecelakaan adalah pendekatan simplistik yang menutup mata atas kegagalan sistemik dalam manajemen perusahaan dan kelemahan pengawasan regulator.

Uji berkala bukan substitusi dari tanggung jawab perusahaan dalam merawat kendaraan dan membina pengemudinya. Ketika semua lapis pengawasan internal gagal, maka uji kendaraan menjadi hanya formalitas administratif yang tak lagi menyelamatkan nyawa.
Karena masyarakat yang mengujikan kendaraan hanya butuh legalitas (hasil uji) bukan proses ujinya ini yang perlu dibangun paradigma masyarakat terhadap pelayanan pengujian sebagai benteng terkahir untuk memastikan kendaraan yang dioperasikan memenuhi persyaratan tehnis laik jalan setelah lolos dari pengawasan Regulator dalam pengawasan sistem manajemen keselamatan perusahaan angkutan
melalui pelaporan secara realntime dari perusahaan kepada regulator dalam operasional setiap harinya. .

8. Penutup Melampaui Paradigma Pengemudi sebagai Tumbal

Negara tidak boleh terus menerus membiarkan paradigma bahwa sopir adalah satu satunya pihak yang harus bertanggung jawab atas setiap kecelakaan. Hukum harus melampaui pelaku lapangan dan menyasar struktur pembuat risiko perusahaan angkutan yang abai, regulator yang lalai, dan sistem hukum yang lamban menyesuaikan diri.

Prinsip hukum tidak hanya berbicara tentang apa yang tertulis dalam undang undang, tetapi bagaimana ia ditafsirkan untuk menegakkan hak konstitusional rakyat. Dalam hal keselamatan angkutan umum, hukum harus berdiri di sisi korban bukan di balik logo perusahaan.

Mereka yang meninggal karena kelalaian sistem bukan korban kecelakaan mereka korban dari sistem hukum yang gagal melindungi hak hidup.

Penulis
Eddy Suzendi SH
Advokat LLAJ
Tagline Keselamatan& Keadilan
Kontak : 08122497769
email : eddypedro4@ gmail.com
Websit :www.esplawfirm.my.id

(Kustiawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *