KARAWANG]] Cendrawasih7.Com-Kecelakaan Karawang dan Kegagalan Sistemik Keselamatan Transportasi Darat
Pendahuluan Tragedi yang Menelanjangi Sistem
Sebuah tragedi memilukan kembali menodai citra keselamatan jalan raya Indonesia. Pada Rabu malam, 30 Juli 2025, di Gerbang Tol Karawang Barat, truk bermuatan pasir yang diduga kuat overloading dan tidak laik jalan mengalami rem blong, terguling, dan menimpa mobil Toyota Voxy. Seorang Warga Negara Asing asal Jepang, Yukihiro Nabae (63) Presiden Direktur perusahaan swasta di kawasan industri Jawa Barat tewas di tempat.
Kasus ini bukan semata kecelakaan teknis, melainkan konsekuensi langsung dari kelalaian sistemik tidak berjalannya Sistem Manajemen Keselamatan Transportasi, longgarnya pengawasan pemerintah, serta pembiaran terhadap praktik angkutan Over Dimension and Over Loading (ODOL).
Ketika korban adalah seorang warga negara asing (WNA), dimensi persoalan meluas tidak hanya ke ranah hukum nasional, tetapi juga berdampak pada hubungan hukum internasional, bahkan potensi diplomatik. Ini adalah cermin betapa keselamatan belum menjadi prioritas negara, meski secara prinsip konstitusional dan yuridis, “Salus Populi Suprema Lex Esto” keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Tanggung Jawab Hukum Pidana, Perdata, dan Konstitusional
a. Pengemudi dan Perusahaan Angkutan
Kecelakaan ini dapat dikualifikasikan sebagai kelalaian berat , (Gross Negligence) Berdasarkan
* Pasal 310 ayat (4) jo. Pasal 106 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ,
* dan Pasal 359 KUHP,
pengemudi yang mengakibatkan kematian karena kelalaian bisa dikenai pidana maksimal 6 tahun.
Lebih jauh, perusahaan angkutan sebagai pihak pemberi kerja dapat dituntut atas dasar
* Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melawan Hukum),
* serta prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), karena terbukti menggunakan armada yang tidak memenuhi standar keselamatan dan membawa muatan berlebih.
b. Ketika Korban adalah WNA Implikasi Internasional
Dalam hukum perdata dan pidana, korban WNA tunduk pada prinsip lex loci delicti commissi hukum negara tempat kejadian. Namun, dalam konteks hak asasi manusia, korban asing juga dilindungi
Pasal 28H UUD 1945, yang menjamin hak atas perlindungan dan keselamatan setiap orang di wilayah Indonesia,
serta konvensi internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Jika keadilan tidak ditegakkan secara layak, negara korban (dalam hal ini Jepang) berpotensi mengajukan protes diplomatik atau nota keberatan, yang pada akhirnya akan mencederai citra hukum Indonesia di mata dunia.
Sistem Manajemen Keselamatan yang Diabaikan
Perusahaan angkutan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum (SMKPAU) sebagaimana diatur dalam
PP No. 74 Tahun 2014,
dan Permenhub No. 85 Tahun 2018.
SMKPAU mencakup standar pelatihan pengemudi, pengecekan kelaikan kendaraan sebelum berangkat ( Pra Keberangkatan) , manajemen beban muatan, serta pengawasan perjalanan dengan sistem digital secara real Time . Fakta bahwa kendaraan ODOL tersebut tidak masuk uji berkala (PKB) dan tidak dilakukan Pra Inspeksi keberangkatan, menunjukkan bahwa sistem ini nyaris tidak dijalankan.
Jalan Tol dan Kendaraan ODOL Kenapa Dibiarkan?
Jalan tol di Indonesia diatur melalui UU No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004, serta PP No. 23 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Jalan Tol, yang mengatur bahwa hanya kendaraan laik jalan dan memenuhi ketentuan teknis yang boleh melintas.
Namun faktanya, truk-truk ODOL justru bebas masuk. Ini menunjukkan adanya kelonggaran administratif dari Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dalam menerapkan pasal pasal hukum tersebut.
Jika kita tilik dari sudut hukum, ini berpotensi sebagai bentuk kelalaian kolektif administratif, yang membuka ruang gugatan hukum oleh korban, termasuk warga negara asing.
Karena jalan tol merupakan area privat terbuka untuk umum, setiap kejadian kecelakaan di dalamnya tetap menjadi tanggung jawab penyelenggara jalan tol sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PP 23/2024 yang menyebutkan bahwa jalan tol wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) termasuk keselamatan lalu lintas.
Lemahnya Pengawasan Negara dan Tanggung Jawab Konstitusional
Negara, melalui Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan daerah, dan Polisi Lalu Lintas, memikul tanggung jawab untuk
* menyaring izin operasi kendaraan niaga,
* memastikan kelayakan teknis angkutan,
* serta mengawasi pelaksanaan SMKPAU secara sistemik dan preventif.
Kecelakaan ini membuktikan bahwa pengawasan tersebut gagal. Bila kendaraan ODOL bisa bebas melintas tol, tidak ditimbang, dan lolos kontrol, maka ada kelalaian negara dalam menjalankan amanat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang mewajibkan negara melindungi setiap jiwa dan memberikan perlindungan hukum yang setara bagi setiap orang.
Bandingkan dengan moda lain
* Penerbangan ada pre-flight inspection sebelum lepas landas.
* Pelayaran laut wajib melalui Port State Control dan syahbandar.
Namun di moda darat yang memiliki tingkat kecelakaan tertinggi nyaris tidak ada kontrol keberangkatan. Ironi sistemik yang telah berlangsung terlalu lama.
Dampak Sistemik dan Risiko Diplomatik
Kasus Karawang bisa menjadi “international legal incident” jika tidak ditangani serius. Pemerintah Jepang dapat menilai bahwa Indonesia lalai melindungi warganya. Reputasi sistem transportasi kita sebagai bagian dari ekosistem investasi internasional pun bisa tergerus.
Tragedi ini juga menyuarakan alarm sistemik yang harus didengar oleh pembuat kebijakan keselamatan belum dijadikan sebagai hukum tertinggi, padahal konsekuensinya menyangkut nyawa manusia dan nama baik bangsa.
Reformasi Hukum Jalan Menuju Perubahan Nyata
Momentum ini harus dijadikan titik balik. Reformasi menyeluruh perlu dilaksanakan melalui
* Penegakan hukum secara konsisten terhadap pelaku usaha angkutan ODOL;
* Audit independen dan berkala terhadap penerapan SMKPAU di seluruh perusahaan angkutan;
* Digitalisasi sistem kontrol beban dan perjalanan kendaraan secara real-time;
* Peninjauan izin Perusahaan Angkutan dan sanksi administratif bagi regulator yang lalai;
* Harmonisasi hukum nasional dengan standar keselamatan internasional (ISO 39001 Road Traffic Safety Management Systems).
Penutup Keselamatan Rakyat (dan Tamu Asing) Adalah Hukum Tertinggi
Tragedi Karawang menjadi pengingat keras bahwa keselamatan tidak boleh dikompromikan, apalagi dalam era digital dan keterbukaan informasi global.
Ketika nyawa melayang akibat kelalaian kolektif, hukum tidak boleh menjadi pembenaran hukum harus menjadi alat pemulihan, pencegahan, dan keadilan.
Salus Populi Suprema Lex Esto
Keselamatan rakyat termasuk warga asing yang menjadi tamu kita adalah hukum yang tertinggi.
Eddy Suzendi, S.H.
Advokat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
Tagline Keselamatan & Keadilan
08122497769
eddypedro4@gmail.com
www.esplawfirm.my.id
(Kustiawan)
Ketika WNA Menjadi Korban Angkutan ODOL
