Example floating
Example floating
Provinsi Papua selatan

Aktivis Perempuan Papua Kecam Kekerasan Rasial di Aksi CPNS: “Kami Peranakan Juga Papua”

Avatar photo
61
×

Aktivis Perempuan Papua Kecam Kekerasan Rasial di Aksi CPNS: “Kami Peranakan Juga Papua”

Sebarkan artikel ini

Merauke||Cendrawasi7.com

Suasana panas aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Papua Selatan, Jumat (18/7), menyisakan luka mendalam bagi aktivis perempuan Papua, Marta Elizabeth Titihalawa. Perempuan berdarah Ambon–Marind ini mengaku menjadi korban kekerasan fisik dan ujaran kebencian bermuatan rasial saat menyampaikan protes atas pernyataan diskriminatif terhadap kelompok peranakan.

Aksi yang digelar Solidaritas Pemuda dan Masyarakat Peduli Pekerja bersama sejumlah perwakilan Orang Asli Papua (OAP) awalnya berlangsung damai, membawa tuntutan terkait seleksi CPNS Formasi 2024 yang dinilai tak transparan. Namun situasi memanas saat massa gagal bertemu Gubernur Papua Selatan yang sedang tidak berada di lokasi. Pembakaran ban pun terjadi sebagai simbol protes, dan di tengah kericuhan itulah insiden terhadap Marta terjadi.

“Saya hanya menyampaikan dengan sopan bahwa istilah ‘darah kotor’ yang digunakan oleh salah satu orator itu menyakitkan dan diskriminatif. Tapi balasan yang saya terima adalah makian bernada rasis dan tamparan di depan umum,” ungkap Marta dalam pernyataan sikap resminya yang diterima redaksi C7.com, Senin (22/7/2025).

Marta menegaskan, dirinya lahir dari rahim perempuan asli Papua, suku Marind, dan hidup sebagai bagian dari masyarakat adat. Ia menyebut identitas peranakan seperti dirinya hasil percampuran budaya adalah bagian sah dari wajah Papua yang majemuk.

“Peristiwa ini bukan hanya menyakitkan secara pribadi, tapi juga menghantam nilai-nilai dasar kehidupan kita di Papua Selatan: keadilan, keberagaman, dan martabat kemanusiaan,” kata Marta.

Dalam pernyataannya, Marta menyuarakan empat poin seruan:

1. Permintaan maaf terbuka dari pelaku kekerasan dan ujaran kebencian.

2. Tindakan hukum tegas dari aparat terhadap insiden tersebut.

3. Ajakan kepada masyarakat, terutama generasi muda, untuk menolak segala bentuk diskriminasi berbasis suku, ras, dan darah peranakan.

4. Dorongan kepada media dan komunitas sipil untuk menjaga ruang publik yang sehat dan inklusif.

“Papua Selatan ini milik kita bersama. Rumah besar yang dibangun dari sejarah panjang keberagaman. Kami yang peranakan juga punya hak untuk dihormati dan dilindungi,” tutupnya.

Pernyataan ini sontak memicu diskusi hangat di media sosial dan kelompok masyarakat sipil. Banyak yang menyatakan dukungan terhadap Marta, seraya menyoroti pentingnya pendidikan keberagaman dan penghormatan terhadap identitas campuran yang selama ini kerap terpinggirkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *