Example floating
Example floating
Berita

Opini

Avatar photo
28
×

Opini

Sebarkan artikel ini

Desain Ulang Pemilu: Kesejahteraan Tergadai, Politik Transaksional Merebak?

Oleh: Rioberto Sidauruk – Dosen Hukum Acara Mahkamah Konstitusi STIH Gunung Jati

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah telah membuka babak baru dalam sistem pemilu Indonesia.
Namun, di balik perubahan mekanisme ini, tersimpan ironi mendalam: bagaimana mungkin demokrasi bisa mencerminkan kehendak rakyat jika sebagian besar dari mereka masih terjerat dalam belenggu ketimpangan ekonomi?
Pemisahan pemilu ini mungkin menjanjikan efisiensi, tetapi tanpa fondasi kesejahteraan yang kokoh, kita hanya akan melahirkan demokrasi yang rapuh dan rentan terhadap praktik politik uang yang tak pernah usai.

Bayangkan, jutaan suara rakyat dipertaruhkan bukan karena keyakinan, melainkan karena godaan materi.
Ini bukan sekadar persoalan teknis pemilu, ini adalah persoalan moral yang menggerogoti esensi demokrasi kita.
Karena itu, memastikan setiap warga negara memiliki kemandirian ekonomi adalah sebuah keharusan.
Hal ini memungkinkan mereka membuat keputusan politik rasional, bebas dari jerat transaksi murahan yang merusak martabat demokrasi itu sendiri.

Politik Uang
Tragisnya, demokrasi Indonesia masih dihantui momok politik transaksional, di mana suara pemilih, yang seharusnya menjadi cerminan nurani, justru diperdagangkan layaknya komoditas murah.
Ini bukan lagi rahasia, melainkan luka menganga dalam tubuh demokrasi kita. Dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, banyak warga yang terpaksa memilih antara prinsip dan perut.
Mereka dihadapkan pada pilihan pahit: menerima tawaran sesaat atau tetap setia pada janji-janji kosong.

Kondisi ini menciptakan sistem yang transaksional, di mana kedaulatan rakyat bukan lagi milik mereka, melainkan ditentukan oleh tebalnya pundi-pundi para calon.
Politik uang adalah penyalahgunaan hakiki demokrasi. Ia mengubah suara suci menjadi alat tawar-menawar, memperburuk ketimpangan sosial, dan memastikan hanya mereka yang berkuasa secara finansial yang dapat benar-benar mengakses arena demokrasi.
Ini adalah sistem yang jauh dari cita-cita “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”

Negara Maju
Perbandingan dengan negara-negara yang lebih maju dalam sistem demokrasinya, seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat memang kompleks, bahkan paradoks.
Meskipun mereka bergelimang harta, pengaruh uang dalam politik tetap signifikan. Kasus Citizens United v. FEC di AS adalah bukti nyata bagaimana “uang berbicara” bahkan di jantung demokrasi modern.

Studi di negara-negara OECD pun mengungkapkan, peningkatan demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi.
Faktor struktural seperti infrastruktur dan keberlanjutan ekonomi justru memegang peranan lebih besar.
Namun, satu hal yang tak terbantahkan adalah: kesejahteraan yang lebih tinggi memberi ruang bagi pemilih untuk fokus pada nilai, bukan harga.
Hal inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk mencapai demokrasi yang lebih matang.

Prasyarat Demokrasi
Berdasarkan perbandingan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa demokrasi yang sehat dan berkualitas harus didahului oleh pembangunan ekonomi yang adil dan merata.
Singkatnya: Sejahtera dulu, baru demokrasi! Sebelum kita bermimpi tentang pemilu yang transparan dan adil, kita harus memastikan setiap anak bangsa memiliki akses yang layak terhadap pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.

Ini akan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam demokrasi tanpa dihantui tekanan ekonomi yang memaksa mereka mengorbankan integritas.
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pemerataan kesejahteraan adalah langkah revolusioner pertama.
Rakyat yang sejahtera akan memiliki kesadaran, hak, dan keberanian untuk membuat keputusan politik yang cerdas, bukan karena diiming-imingi, melainkan karena pemahaman mendalam akan masa depan mereka.

Ketika rakyat tidak lagi bergantung pada remah-remah materi, kualitas demokrasi kita akan melesat. Pemilih akan memilih berdasarkan visi dan misi, bukan sekadar penawaran sesaat.

Atasi Politik
Untuk menumpas politik transaksional, kita tidak bisa lagi bermain-main. Ini adalah perang nyata yang membutuhkan strategi komprehensif.
Pendidikan politik harus menjadi garda terdepan. Kita harus menyadarkan rakyat bahwa suara mereka adalah aset tak ternilai, bukan barang dagangan yang bisa diobral.
Pendidikan politik yang mumpuni akan membedakan mana “pahlawan” yang menawarkan solusi, dan mana “penipu” yang hanya bersembunyi di balik tumpukan uang.

Selain itu, pengawasan ketat dari seluruh elemen masyarakat—LSM, media, hingga setiap individu—adalah keniscayaan.
Dan tentu saja, sanksi hukum yang tegas bagi para pelaku politik transaksional harus ditegakkan tanpa pandang bulu, demi menciptakan lingkungan politik yang bersih dan bertanggung jawab.

Solusi Demokrasi
Membangun demokrasi yang kokoh di Indonesia menuntut satu hal utama: kesejahteraan rakyat sebagai prioritas absolut.
Ditambah dengan peningkatan kualitas pemilih melalui pendidikan politik yang merata, barulah kita bisa berharap pada masa depan yang lebih baik.

Pemerintah harus memberikan insentif bagi para calon pemimpin untuk fokus pada program pro-rakyat, bukan pada transaksi politik yang memuakkan.
Pemilu yang bebas politik transaksional hanya akan terwujud jika rakyat telah cukup sejahtera untuk memutuskan tanpa tekanan ekonomi.
Maka, mari kita prioritaskan penciptaan masyarakat yang sejahtera.

Tanpa kesejahteraan yang merata, demokrasi hanya akan menjadi ritual mahal dan tak berarti, sebuah panggung bagi segelintir kaum berduit, sementara rakyat biasa tetap terpinggirkan. Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita ubah bersama.

Simpulan Progresif
Demokrasi yang sehat dan berkelanjutan bukanlah sekadar kotak suara. Ia adalah cerminan kesejahteraan rakyat, fondasi bagi partisipasi politik yang rasional dan bermartabat.

Dengan memastikan setiap individu memiliki kehidupan yang layak, kita membuka gerbang menuju demokrasi yang sejati.
Sebagai sebuah bangsa, kita punya tugas mendesak: meningkatkan kesejahteraan rakyat, agar mereka bisa menjalankan hak politik tanpa tekanan, menjadi bagian dari proses demokrasi yang lebih bermartabat dan membanggakan.
Ingatlah selalu: Sejahtera dulu, baru demokrasi! Inilah satu-satunya kunci untuk membangun Indonesia yang kita impikan. Ini adalah jalan yang harus kita tempuh untuk masa depan bangsa yang lebih adil dan bermartabat. (r10)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *